BAGIAN 1;
"Legenda Naya Gimbal dan Gunung Genuk"
Ratusan tahun silam, hiduplah seorang laki-laki bertubuh tegap dengan rambut gimbal menjulur. Naya Sentika, begitulah warga mengenalnya. Ia merupakan pengikut setia Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830). Ketika mendengar kabar bahwa junjungannya ditangkap oleh Belanda dengan cara yang tidak kesatria, hati Naya Sentika bergejolak. Ia tidak terima Sang Khalifatullah Tanah Jawa diperlakukan demikian. Ia pun bertekad akan mengusir orang-orang kafir itu dari tanah kelahirannya – Pulau Jawa.
Pada suatu hari Naya Sentika mendapatkan mimpi yang tak biasa. Dalam mimpinya ia bertemu dengan seorang pertapa bernama Ki Moro.
“Sentika anakku, sebelum kau melanjutkan perjuanganmu, pergilah ke sebuah bukit di selatan kabupaten Blora. Bertapalah, mohon petunjuk kepada Gusti kang ngakaryo jagat. Kuberi kau sebuah genuk. Bawalah genuk ini bersamamu. Letakkan genuk ini secara tertelungkup. Jika genuk ini terbalik dengan sendirinya, maka itu tanda tapamu telah usai dan waktu perjuanganmu melawan Belanda sudah dimulai. Selain itu ku bekali kau dengan beberapa benda ini.”
“Payung dan sehelai sapu tangan? Untuk apa benda-benda ini Ki.?” Tanya Naya Sentika kebingungan.
“Simpanlah kedua benda ini, kelak kau akan tahu apa kegunannya”.
Setelah mendengar suara tersebut, Naya Sentika terbangun dari mimpinya. Mimpi yang begitu nyata, seolah tak ada bedanya antara mimpi dengan kehidupan yang sesungguhnya. Alangkah terkejutnya Naya Sentika, disampingnya berjejer benda-benda yang ia jumpai dalam mimpi. Hal ini semakin meyakinkan Naya Sentika bahwa itu bukanlah sekedar mimpi biasa, melainkan petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
Berangkatlah Naya Sentika ketempat pertapaan. Dibawa sertanya payung, sapu tangan dan genuk. Sesampainya diatas bukit, ia leatakkan genuk pemberian Ki Moro diatas tanah. Kemudian ia berisila, duduk diam diatas batu, memasrahkan diri kepada Sang Penguasa Langit dan Bumi.
Saking Khusuknya Naya Sentika menjalankan tapa, sampai-sampai ia tidak menyadari kalau salah seorang saudara seperguruannya, Bejo, tengah menyimpan muslihat. Bejo yang sedari awal tidak menyukai keberadaan Naya Sentika berniat menggagalkan tapanya.
Pada malam hari diam-diam Bejo mendatangi tempat pertapaan Naya Sentika. Tanpa pikir Panjang ia gulingkan genuk pusaka Naya Sentika itu.
“Heh…dengan begini pertapaanmu gagal Kang, dan akulah yang akan menjadi pemimpin padepokan ini…”. Ucap Bejo dalam hati.
Senyum culas tergambar diwajah Bejo. Dengan langkah mengendap, ia tinggalkan tempat pertapaan itu.
Mentari muncul dari ufuk timur. Sinarnya menorobos rimbunnya pepohonan hutan, masuk meluli sela-sela daun yang sedikit renggang. Cahaya matahari mulai merambat naik, perlahan menyentuh wajah Naya Sentika. Seketika ia membuka mata, dan melihat genuk pusakanya terbalik dengan sendirinya.
“Genuk ini telah terbalik. Ini artinya Gusti Pengeran telah memberikan tanda. Mulai detik ini akan kumulai perjuanganku. Akan kurobek perut penjajah busuk itu satu persatu.”
Naya Sentika turun dari pertapaan. Mukanya kusam tak terurus, dagunya dipenuhi jenggot, dan rambutnya pun menggimbal panjang. Setelah membersihakan diri, kemudian ia mengumpulkan para pengikutnya.
“Kang iku guru..?” gumam salah seorang diantara mereka.
“Iyo bener itu guru, tapi kok rambutnya gimbal begitu.”
“La makanya kang, sik opo gini kang, biar gampang kita panggil guru Naya Gimbal, piye..?”
“Wah apik kuwi.”
“Wahai para pengikutku, Gusti Pengeran telah memberikan tanda. Mulai hari ini kita akan bersama berjuang mengusir para Londo biadab itu dari tanah Jawa.” Seru Naya Gimbal.
Sorak Sorai menggema memecah heningya hutan jati. Mata para pengikut Naya Gimbal berapi-api seolah siap berperang dan menghadapi apapun yang mengahalangi.
Begitulah awal perjuangan Naya Gimbal dimulai. Selanjutnya ia bersama pengikut-pengikutnya terus begerilya, meneruskan perjuangan Sang Khalifatullah Tanah Jawa.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, bukit tempat bertapanya Naya Gimbal dinamakan Gunung Genuk. Gunung Genuk masuk kedalam wilayah Desa Ngajaran, Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Hingga saat ini tempat tersebut masih dijaga kelestariannya oleh masyarakat sekitar, dan mereka percaya bahwa Gunung Genuk memiliki energi gaib yang tak kasat mata.